Sabtu, 08 Desember 2012

Mahabbah


PENDAHULUAN
Tasawuf adalah salah satu bentuk pemahaman dalam Islam telah memperkenalkan betapa ajaran cinta (mahabbah) menempati kedudukan yang tinggi. Hal itu terlihat dari bagaimana para ulama sufi, seperti: al-Ghazali, menempatkan mahabbah sebagai salah satu tingkatan puncak yang harus dilalui para sufi dan Rabi’ah al ‘Adawiyyah mahabbah merupakan tingkatan tertinggi dalam maqam spiritualnya.
Ketika anda diberi sesuatu, tentu anda akan berterima kasih dan menunggu kesempatan yang baik untuk membalas kebaikan tersebut. Anda pun akan senantiasa mengingat-ingat kebaikan itu. Jika demikian, sampai sejauh mana kadar cinta Anda terhadap orang yang anda cintai?

Ketika manusia telah menjadikan Allah swt sebagai Tuhannya, maka salah satu yang harus ditunjukkannya adalah mencintai-Nya melebihi kecintaan kepada apapun dan siapapun juga. Karena itu, kecintaan yang sama antara cinta kepada Allah dengan selain Allah tidak bisa dibenarkan dalam pandangan iman, Allah swt berfirman:

[9:24] Katakanlah: "jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNYA dan dari berjihad di jalan NYA, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.
QS. At Taubah Ayat 24






PEMBAHASAN

A.    Pengertian Mahabbah
Mahabbah secara literal mengandung beberapa pengertian sesuai dengan asal pengambilan katanya. Pertama, Mahabbah berasal dari kata hibbah, yang berarti benih  yang jatuh kebumi, karena cinta adalah sumber kehidupan sebagaimana benih menjadi sumber tanaman. Kedua, Mahabbah berasal dari kata hubb, yang berarti tempayan yang penuh dengan air yang tenang, sebab bila cinta telah memenuhi hati, tidak ada lagi tempat bagi yang lain selain yang dicintainya. Ketiga, Mahabbah berasal dari kata habb (bentuk jamak dari habbah), yang berarti relung hati tempat bersemayamnya cinta. Kelima, istilah Mahabbah juga berasal dari kata habab, yakni gelembung-gelembung air  dan luapan-luapannya yang turun ketika hujan lebat. Hal ini karen cinta adalah luapan hati yang merindukan persatuan dengan kekasihnya.
Menurut syaiful Bahri, cinta merupakan stimulan kreativitas dan berbagai karya besar. Terutama jika cinta kepada Allah ( Mahabbah) memiliki muatan yang sangat kuat, terbina dalam manhaj Rasulullah Saw, karena Allah sajalah yang mampu membolak-balikkan hati seorang manusia[1]
Dalam prespektif tasawuf, mahabbah bisa ditelusuri maknanya menurut pandangan para sufi. Menurut al- Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Yakni hati cenderung kepada Tuhan dan apa- apa yang berhubungan dengan-Nya tanpa usaha.
Rabi’ah al- Adawiyyah (w. 185 H./801 M), Sufi wanita yang masyur memperkenalkan konsep cinta sufi, menggambarkan mahabbah atau cinta sebagai dasar dan prinsip dalam perjalanan seorang hamba menuju Tuhannya. Bagi Rabi’ah , Mahabbah lebih dahulu muncul daripada ma’rifat, sebab seorang  hamba belum dapat mencapai ma’rifat, yakni mengenal Tuhan melalui mata hatinya sebelum lebih dahulu mencintai-Nya. Orang hanya daapat mencintai sesuatu setelah lebih dahulu mengenalnya. Demikian pula dengan mencintai Tuhan, harus lebih dahulu dimulai dengan mengenal-Nya. Cinta Rabi’ah  yang tulus tanpa mengharapkan sesuatu pada Tuhan, terlihat dari ungkapan do’a-do’a yang disampaikannya, seperti: Ya Tuhanku, bila aku menyembahMu lantaran takut kepada neraka, maka bakarlah diriku dalam neraka, dan bilaa aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, maka jauhkanlh aku dari surga, namun jika engkau menyembah Mu hanya demi engkau, maka janganlah Engkau tutup Keindahan Abadi-Mu.
Adapun berbagai syair dari Rabi’ah, salah satunya:
Buah hatiku, hanya Engkau yang kukasih.
Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu.
Engkaulah harapanku, kebahagianku  dan kesenanganku.
Hatiku enggan mencintai selain dari engkau.[2]
Cinta kepada Allah atau mahabbah merupakan tingkatan puncak tertinggi dalam keberagaman seseorang. Dalam syairnya Abu Al-Qasim Bisyr’i Yasin sebagai berikut:
Cinta yag sempurna datang dari pencinta yang tidak berharap apa pun bagi dirinya
Apa yang diinginkan yang berharga?
Pasti, sang Pemberi lebih baik bagimu daripada pemberian
Bagamaina Engkau menginginkan pemberian, ketika
Engkau memiliki Batu bertuah [3]

B.      Sebab dan Tumbuhnya Mahabbah
Menurut imam al Ghazali, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya, yaitu sebagai berikut: 
a.       Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak)
Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal. Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia.[4]
b.      Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan
Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai. Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai tersebut.
Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh binatang. Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud.  
c.       Manusia tentu mencintai dirinya
Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.
Suatu cinta kepada yang haq merupakan suatu rasa atau getaran-getaran cinta yang ditandai tiga ciri utama, yakni :
1.         Taqwa, melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
2.         Menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah sebagai dzat yang dicintai ( al Mahbub).
3.         Mengosongkan hati dari seegala hal selain dia yang dicintai.[5]
Jika seseorang ingin menjadih kekasih Allah maka ia harus mencintai-Nya dengan segenap hati. Dalam kitab Nasha’ihul ibad karya imam Nawawi ibnu umar al jai mnyatakan bahwa barangsiapa yang mencintai Allah maka ia harus mencintai orang-orang yang dicintai Allah yakni para ulama’ dan orang-orang sholeh. Demikian pula barangsiapa mengakui mencintai orang-orang yang dicintai Allah, maka ia harus cinta berbuat kebajikan ( amal sholih )dan barang siapa yang mengaku cinta untuk  berbuat amal sholeh maka ia harus melakukannya Secara ikhlas.

C.     Tingkatan Mahabbah
Menurut al sarraj, mahabbah mempunyai tingkatan-tingkatan yaitu:
1.      Tingkatan awwam ( umum atau biasa)
Pada tingkatan ini, cinta ditandai dengan selalu mengingat Allah. Dengan melalui dzikir, suka meenyebut nama Allah dan merasa memperoleh kesetenangan batin tatkala mendengar nama Allah jika disebut-sebut.
2.      Tingkatann Shiddiqin
Pada tingkatan ini, orang yang mencintai Allah sudah padaa taraf ma’rifatullah ( mengenal  Allah ) dengan lebih mendalam, menggenal kebesaran-Nya Kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya, dll,. Hatinya pun seakan-akan dipenuhi dengan rasa Allah serta sangat merindukannya.
3.      Cinta kaum ‘arifin ( cinta kaum sufi )
Benar-benar ma’rifatullah. Cinta serupa ini timbul karena telah mengenal Allah sehingga yang ia rasa bukan lagi cinta akan tetapi dirinya yang dicintai.[6]

D.    Alat Untuk mencapai Mahabbah.
Dari sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakan diatas, telah nampak ada persamaan arti yang dikehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhiah pada tuhan. Lebih lanjut al Qusyairi mengumukakan pengertian mahabbah dalam konteks tasawuf yaitu mahabbah adalah merupakan keadaan (hal) jiwa yang mullia yang bentuknya disaksikannya ( kemutlakan ) Allah SWT, oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah SWT.
Menurut Harun Nasution, didalam diri manusia ada tiga alat yang digunakan untuk berhubungan atau bermahabbah dengan Tuhan, yaitu:
1.      Al Qalb
Al Qalb atau hati sanubari berfungsi sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan.
2.      Roh
Roh berfungsi sebagai alat untuk mencintai Tuhan
3.      Sir
Sir berfungsi sebagai alat untuk melihat Tuhan.[7]
       Diriwayatkan oleh abu Hurayroh bahwa Rasululloh saw telah bersabda, “Barangsiapa yang senang bertemu dengan Allah, maka allah akan senang bertemu dengannya. Dan barangsiapa yang tidak senang bertemu dengan Allah, maka Allah pun tidak akan senang bertemu dengannya.” Allah berfirman dalam  QS. Al- Ma’idah: 54)
 yang bunyinya :

54. ‘’Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.’’
Ada banyak tanda yang harus kita tunjukkan sebagai bukti bahwa kita cinta kepada Allah swt yakni sebagai berikut:
1.        Banyak berdzikir
Secara harfiyah, dzikir artinya mengingat, menyebut, menuturkan, menjaga, mengerti dan perbuatan baik. orang yang berdzikir kepada Allah Swt berarti orang yang ingat kepada Allah Swt yang membuatnya tidak akan menyimpang dari ketentuan-ketentuan-Nya. Ini berarti dzikir itu bukan sekedar menyebut nama Allah, tapi juga menghadirkannya ke dalam jiwa sehingga selalu bersama-Nya yang membuat kita menjadi terikat kepada ketentuan-ketentuan-Nya, Rasulullah Saw bersabda:
Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Tuhannya dengan orang yang tidak berdzikir seperti orang hidup dan orang mati (HR. Bukhari).
2.        Kagum
Orang yang cinta kepada Allah swt akan kagum terhadap kebesaran dan kekuasaan-Nya, karenanya ia akan selalu memuji-Nya dalam berbagai kersempatan sebagaimana yang tercermin pada firman Allah swt: Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam (QS 1:2).
3.        Ridha
Orang yang cinta berarti ridha dengan yang dicintainya, karena itu bila seseorang cinta kepada Allah swt, maka iapun ridha kepada segala ketentuan-ketentuan-Nya sehingga bila ia diatur dengan ketentuan Allah swt, maka ia tidak akan mencari aturan lain, karena hal itu hanya membuat ia menjadi tidak pantas menjadi seorang mukmin sebagaimana firman-Nya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata (QS 33:36).
4.        berkorban
Tiada cinta tanpa pengorbanan, begitu pula halnya dengan cinta kepada Allah swt yang harus ditunjukkan dengan pengorbanan di jalan-Nya. Dalam hal apapun, manusia harus berkorban dengan segala yang dimilikinya. Orang yang bercinta pasti dituntut berkorban dengan apa yang dimilikinya. Orang yang memiliki hobi atau kegemaran harus berkorban untuk bisa menyalurkan apa yang menjadi kegemarannya itu. Orang yang berjuang di jalan yang bathilpun berkorban dengan harta bahkan jiwanya. Abu Jahal, Abu Lahab dan tokoh-tokoh kafir lainnya berkorban dengan harta dan jiwa mereka
5.      Taqwa
Salah satu sikap yang harus kita miliki sebagai tanda cinta kepada Allah swt adalah rasa takut kepada-Nya.Takut kepada Allah bukanlah seperti kita takut kepada binatang buas yang menyebabkan kita harus menjauhinya, tapi takut kepada Allah Swt adalah takut kepada murka, siksa dan azab-Nya sehingga hal-hal yang bisa mendatangkan murka, siksa dan azab Allah Swt harus kita jauhi.
6.        Raja’ (berharap)
Cinta kepada Allah swt juga membuat seseorang selalu berharap kepada-Nya, yakni berharap mendapatkan rahmat, cinta, ridha dan perjumpaan dengan-Nya yang membuat ia akan selalu meneladani Rasulullah saw dalam kehidupannya di dunia ini, Allah swt berfirman: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (QS 33:21).
7.        Rindu
Ia selalu rindu ingin bertemu Allah, sebagaimana seorang pecinta merindukkan bertemu permata hatinya. Ia takut kehilangan cinta Allah kepadanya, sebagaimana seorang pecinta takut kehilangan kekasihnya.
Rindu kepada Allah mempunyai tuju sasaran yakni rindu untuk berjumpa kepada Allah, Rindu untuk selalu hadir dihadapan Allah, Rindu untuk selalu bersaama Allah, Rindu untuk dapat berdua dengan allah, Rindu untuk berwacana langsung dengan Allah, Rindu untuk diterima kembali ( dengan baik ) oleh Allah, dan Rindu untuk dicintai dan diridhoi oleh Allah.

E.     MENCINTAI RASULULLAH SAW
Anas r. A. Berkata, bahwa Rasulullah saw. Telah bersabda :
“Tidak digolongkan beriman seseorang sampai dia )mengakui aku sebagai orang yang paling dia cintai daripada orang tuanya.”(HR. Bukhari,”Bab Al- Imran” (14,15), “bab kewajiban Cinta kepada Rasulullah Saw. Dibandingkan kepada keluarga, orang tua, dan manusia seluruhnya”)
1.    Rahasia Cinta kepada Rasulullah Saw, diantaranya:
a.       Allah SWT telah memilih Rasullullah SAW untuk melaksanakan risalah nubuwah. Dengan demikian  patutlah cinta kita curahkan pada Rasulullah. Karena ditengah-tengah penyebaran dakwah ilahinya, beliau membentur beerbagai kesulitan.
b.      Cinta kepada Rasulullah SAW sederajat dengan cinta kita kepada Allah SWT, Allah berfirman pada QS Ali Imran:31
c.       Rasulullah kita cintai karena kesempurnaan akhlaknya
d.      Sudah merupakan keharusan jika kita harus mencintai orang yang juga mencintai kita. Hati akan selalu dekat dengan oorang yang hatinya dekat pada kita. Seperti halnya nabi muhammad sangat menyayangi kita sebagai umatnya.[8]
e.       Kecintaan kita kepada beliau ibarat pengaman jiwa karena beliau telah membentuk hiduo kita melalui pribadi yang agung. Beliau adalah teladankita didalam segala hal dalam kehidupankita.
f.       Cinta kepada rasulullah ibarat seperti pohon  yang membuahkan cinta kepada Allah
g.      Beliau kita cintai karena telah memberikan petunjuk serta kiat yang peling  jitu dalam menghadapi ketiga hal: sikap terhadap dunia, sikap terhadap di alam kubur dan sikap diakhirat kelak.

2.    Buah cinta kepada Rasulullah SAW
Kecintaan kepada rasulullah merupakan hal yang sangat monumental dan membuahkan hal yang dapat memuliakan manusia. Manfaat yang dapat kita ambil dari kecintaan itu, diantaranya:
a.       Kecintaan Allah SWT
Cinta Allah SWT kepada kita merupakan hal yang  spektakuler dari buah cinta kita kepada Rasulullah saw, Allah SWT berfirman: ali Imran ayat 31
b.      Kesempurnaan iman
Kecintaan kepada Rasulullah merupakan salah satu bentuk kesempurnaan imani. Selaku mukmin, kita pasti berusaaha keras mempertahankan kesempurnaan iman dalam diri dan perasaan kita.
c.       Meningkatkan akhlak dan  Budi Pekerti
d.      Cinta kepada Nabi merupakan salah satu sebab seseorang memperoleh manisnya iman. Nabi bersabda: “ada tiga perkara, barangsiapa yang dapat melakukan hal itu niscaya ia akan dapat merasakan manisnya iman. Pertama, hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selainkeduanya. Kedua, hendaknya seseorang itu dapat mencintai orang lain hanya karena Allah, dan ketiga hendaknya dia benci kembali kepada kekufuran, seebagaimana ia benci jika hendak dilemparkan ke dalam neraka ( HR. Bukhori dan Muslim).[9]
e.       Meningkatkan Mentalitas dan spiritualitas
Kedudukan dunia dihati Rasul yaitu: “Apa arti dunia bagi diriku, hanyalah seperti penunggang kuda yang bernaung dibawah sebuah pohon, setelah itu pergi lagi dan meninggalkan pohon tersebut.” Karena dalam jiwa dan perasaan Beliau akhiratlah yang menempati posisi utama atau tertinggi.

F.      Cinta kepada kaum Muslimin.
Cinta yang tulus adalah cinta yang menciptakan senyuman dari hati, lalu terucapkan oleh dua bibir lalu kausuguhkan senyuman dan wajah ceriamu kepada saudaramu karenanya.
Sungguh harta benda tidak cukup untuk menarik cinta manusia serta kecenderungan hati mreka. Namun senyuman mampu menciptakan apa yang tidak dapat diciptakan oleh harta. Perasaan cinta mampu merayap sampai ke lubuk hati terdalam. Ia juga mamu menguasai keseluruhan perasaan manusia.
Nabi Muhammad adalah sebaik-baik pembina umat yang mengajarkan bahwa ikatan cinta merupakan ikatan yang paling kuat, yang mengikat kehidupan umat manusia. Rasulullah SAW selalu menyerukan kepada umat manusia untuk mencintai. Dengan ini mereka juga akan dicintai. Karena dengan saling mencintai itulalh mereka dapat bertemu dengan wajah yang ceria dan senyum yang merekah penuh ketulusan. Senyum yang lahir dari wajah yang ceria bisa memiliki kekuatan laksana sihir.
Berikut ini beberapa hadits yang menggambarkan bagaimana cinta, ikatan dan persaudaraan dalam islam
1.      Dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda: “ tidak sempurna iman seseorang diantara kalian, sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri (HR. Muslim)
Maksud dari hadits diatas : bahwa cinta yang  kita berikan kepada sesama Muslim sebanding dan sekualitas dengan yang kita berikan kepada diri kita sendiri. Namun dalam hal ini ( kebaikan dirinya sendiri ) menjadi sebuah syarat yakni jika yang dicintai dari dirinya adalah persoalan syahwat yang diharamkan atau mendekatinya, maka bukanlah kesempurnaan iman yang diperoleh.
2.      Dari Abdullah bin Amr r.a, Rasulullah bersabda:
“Sebaik-baik sahabat menurut Allah adalah orang yang paling baik terhadap sahabatnya, dan sebaik-baik tetangga adalah orang yang paling baik tetangganya ( HR. Tirmidzi)
3.      Abu Daud meriwayatkan dari Abu Umamah r.a bahwa Rasulullah bersabda:”Barang siapa mencintai karena Allah, marah karena Allah, membenci kareena Allah, memberi karena Allah dan tidak memberi karena Allah, maka sempurnalah imannya.
Kerelaan memberi atau tidak memberi merupakan buah dari perasaan cinta dan  benci. Sebab, hati merupakan pusat dan pengendali seluruh badan. Baik dan buruknya badan sangat bergantung kepada baik dan buruknya hati. [10]






PENUTUP
Mahabbah (cinta) identik ditujukan pada Allah SWT. Terdapat banyak makna atau definisi cinta atau mahabbah disini. Dari ulama’ tasawuf, tokoh-tokoh sufi. Dari beberapa definisi yang telah disampaikan bahwa mahabbah disini mempunyai arti relatif. Namun pada dasarnya mempunyai inti yang sama yakni mahabbah merupakan suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati. keadaan Mahabbah menghendaki keseimbangan antara sisi individual dan sosial, antara emosional dan rasional.
Dalam sebuah kehidupan yang namanya sebuah rasa didalam hati yakni cinta pasti mempunyai, sebab, ciri, tanda,wadah dan tumbuh. Begitu juga dengan mahabbah, cinta kita pada Allah, Rasul-Nya bahkan sesama manusia juga demikian ada sebab, ciri, tanda,wadah dan tumbuh.
Manakala seorang muslim telah mencintai Allah SWT, maka ia akan memperoleh kecintaan dari-Nya, dan ini akan membuatnya bisa menjalani kehidupan dengan baik.
Mahabbah atau cinta memiliki tingkatan, dari tingkatan orang-orang awwam sampai tingkatan puncak bagi orang-orang ‘arifin. Jika hati mempunyai rasa cinta pada sesuatu hal, maka ekspresi bibir tat kala juga akan menyabit dengan menawan ( senyum ceria menawan).











DAFTAR PUSTAKA
Reynold Alleyne Nicholson. 2008. Tasawuf cinta. Bandung: Mizan.

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Ihya Ulumiddin. (Beirut, Dar al-Ma’rifah, tt). 
Abdul Mustaqim. 2007. Akhlaq Tasawuf. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
‘Abd al- Karim Ibn Hawazin al- qusyayri. 1990. Risalah sufi al- Qusyayri. Bandung: Penerbit                                                                          
Pustaka.
Najib Khalid Al- ‘Amir. 1994. Tarbiyah Rasulullah. Jakarta: Gema Insani Press.
Saiful Bahri.2005. Kemenangan Cinta.  Solo: Era Intermedia.
Abuddin Nata.2010. Akhlak Tasawuf.  Jakarta: Raja Wali Press
Ahmad Nashib al Mahamid.2004.  Memadu Cinta di taman Islam. Solo: Intermedia


[1] Saiful Bahri, Kemenangan Cinta, ( Solo: Era Intermedia, 2005), hlm. 9.
[2]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf , ( Jakarta: Raja Wali Press, 2010), hlm. 216.
[3]Reynold Alleyne Nicholson, Tasawuf  cinta, ( Bandung: Mizan,2008 ), hlm. 25.
[4] Lihat, penjelasan al-Ghazali pada Kitab al-Mahabbah wa asy-Syauq wa ar-Ridha, dalam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, op. cit., juz 4, hal. 296-300.
[5]Abdul Mustaqim, Akhlaq Tasawuf, ( Yogyakarta: Kreasi Wacana,2007 ), hlm. 15.

[6]Ibid., hlm. 16-17.
[7] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, ( Jakarta: Raja Wali Press,2010),  hlm. 213.
[8] Najib Kholid Al ‘amir, Tarbiyah Rasulullah, (jakarta,:Gema Insani Press, 1994), hlm. 53-57
[9] Abdul Mustaqim, Akhlaq Tasawuf, ( Yogyakarta: Kreasi Wacana,2007 ), hlm.36.
[10]Ahmad Nashib al Mahamid,  Memadu Cinta di taman Islam, ( Solo: Intermedia, 2004), hlm.243-254.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar