PENDAHULUAN
Tasawuf adalah salah satu bentuk pemahaman dalam Islam telah memperkenalkan
betapa ajaran cinta (mahabbah) menempati kedudukan yang tinggi. Hal itu
terlihat dari bagaimana para ulama sufi, seperti: al-Ghazali, menempatkan mahabbah
sebagai salah satu tingkatan puncak yang harus dilalui para sufi dan
Rabi’ah al ‘Adawiyyah mahabbah merupakan tingkatan tertinggi dalam maqam
spiritualnya.
Ketika anda diberi sesuatu, tentu anda
akan berterima kasih dan menunggu kesempatan yang baik untuk membalas kebaikan
tersebut. Anda pun akan senantiasa mengingat-ingat kebaikan itu. Jika demikian,
sampai sejauh mana kadar cinta Anda terhadap orang yang anda cintai?
Ketika manusia telah menjadikan Allah swt sebagai Tuhannya, maka salah satu yang harus ditunjukkannya adalah mencintai-Nya melebihi kecintaan kepada apapun dan siapapun juga. Karena itu, kecintaan yang sama antara cinta kepada Allah dengan selain Allah tidak bisa dibenarkan dalam pandangan iman, Allah swt berfirman:
[9:24] Katakanlah: "jika bapa-bapa , anak-anak ,
saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang
kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNYA dan dari berjihad
di jalan NYA, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". Dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.
QS. At Taubah Ayat 24
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mahabbah
Mahabbah secara literal mengandung beberapa pengertian sesuai dengan asal
pengambilan katanya. Pertama, Mahabbah berasal dari kata hibbah, yang berarti
benih yang jatuh kebumi, karena cinta
adalah sumber kehidupan sebagaimana benih menjadi sumber tanaman. Kedua,
Mahabbah berasal dari kata hubb, yang berarti tempayan yang penuh dengan air
yang tenang, sebab bila cinta telah memenuhi hati, tidak ada lagi tempat bagi
yang lain selain yang dicintainya. Ketiga, Mahabbah berasal dari kata habb
(bentuk jamak dari habbah), yang berarti relung hati tempat bersemayamnya
cinta. Kelima, istilah Mahabbah juga berasal dari kata habab, yakni gelembung-gelembung
air dan luapan-luapannya yang turun
ketika hujan lebat. Hal ini karen cinta adalah luapan hati yang merindukan
persatuan dengan kekasihnya.
Menurut syaiful Bahri, cinta merupakan stimulan kreativitas dan berbagai
karya besar. Terutama jika cinta kepada Allah ( Mahabbah) memiliki muatan yang
sangat kuat, terbina dalam manhaj Rasulullah Saw, karena Allah sajalah yang
mampu membolak-balikkan hati seorang manusia[1]
Dalam prespektif tasawuf, mahabbah bisa ditelusuri maknanya menurut
pandangan para sufi. Menurut al- Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Yakni
hati cenderung kepada Tuhan dan apa- apa yang berhubungan dengan-Nya tanpa usaha.
Rabi’ah al- Adawiyyah (w. 185 H./801 M), Sufi wanita yang masyur
memperkenalkan konsep cinta sufi, menggambarkan mahabbah atau cinta sebagai
dasar dan prinsip dalam perjalanan seorang hamba menuju Tuhannya. Bagi Rabi’ah
, Mahabbah lebih dahulu muncul daripada ma’rifat, sebab seorang hamba belum dapat mencapai ma’rifat, yakni
mengenal Tuhan melalui mata hatinya sebelum lebih dahulu mencintai-Nya. Orang
hanya daapat mencintai sesuatu setelah lebih dahulu mengenalnya. Demikian pula
dengan mencintai Tuhan, harus lebih dahulu dimulai dengan mengenal-Nya. Cinta Rabi’ah yang tulus
tanpa mengharapkan sesuatu pada Tuhan, terlihat dari ungkapan do’a-do’a yang
disampaikannya, seperti: Ya Tuhanku, bila aku menyembahMu lantaran takut kepada
neraka, maka bakarlah diriku dalam neraka, dan bilaa aku menyembah-Mu karena
mengharapkan surga, maka jauhkanlh aku dari surga, namun jika engkau menyembah
Mu hanya demi engkau, maka janganlah Engkau tutup Keindahan Abadi-Mu.
Adapun berbagai syair dari Rabi’ah, salah satunya:
Buah hatiku,
hanya Engkau yang kukasih.
Beri ampunlah
pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu.
Engkaulah
harapanku, kebahagianku dan
kesenanganku.
Hatiku enggan
mencintai selain dari engkau.[2]
Cinta kepada Allah atau mahabbah merupakan tingkatan puncak
tertinggi dalam keberagaman seseorang. Dalam syairnya Abu Al-Qasim Bisyr’i
Yasin sebagai berikut:
Cinta yag
sempurna datang dari pencinta yang tidak berharap apa pun bagi dirinya
Apa yang
diinginkan yang berharga?
Pasti, sang
Pemberi lebih baik bagimu daripada pemberian
Bagamaina Engkau
menginginkan pemberian, ketika
Engkau memiliki
Batu bertuah [3]
B.
Sebab dan Tumbuhnya Mahabbah
Menurut imam al Ghazali,
ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya, yaitu
sebagai berikut:
a.
Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan
pengetahuan (idrak)
Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal.
Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta
merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang
telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu
itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan
timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan
kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia.[4]
b.
Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan
Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang terhadap
suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai. Selanjutnya,
jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari obyek yang
dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai tersebut.
Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui
pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh
binatang. Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan
melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah
yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh
pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud.
c.
Manusia tentu mencintai dirinya
Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan
eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa
menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.
Suatu cinta
kepada yang haq merupakan suatu rasa atau getaran-getaran cinta yang ditandai
tiga ciri utama, yakni :
1.
Taqwa,
melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
2.
Menyerahkan
diri sepenuhnya kepada Allah sebagai dzat yang dicintai ( al Mahbub).
3.
Mengosongkan
hati dari seegala hal selain dia yang dicintai.[5]
Jika seseorang
ingin menjadih kekasih Allah maka ia harus mencintai-Nya dengan segenap hati.
Dalam kitab Nasha’ihul ibad karya imam Nawawi ibnu umar al jai mnyatakan bahwa
barangsiapa yang mencintai Allah maka ia harus mencintai orang-orang yang
dicintai Allah yakni para ulama’ dan orang-orang sholeh. Demikian pula
barangsiapa mengakui mencintai orang-orang yang dicintai Allah, maka ia harus
cinta berbuat kebajikan ( amal sholih )dan barang siapa yang mengaku cinta
untuk berbuat amal sholeh maka ia harus
melakukannya Secara ikhlas.
C.
Tingkatan
Mahabbah
Menurut al sarraj, mahabbah mempunyai tingkatan-tingkatan yaitu:
1.
Tingkatan
awwam ( umum atau biasa)
Pada tingkatan ini, cinta ditandai dengan selalu mengingat Allah.
Dengan melalui dzikir, suka meenyebut nama Allah dan merasa memperoleh
kesetenangan batin tatkala mendengar nama Allah jika disebut-sebut.
2.
Tingkatann
Shiddiqin
Pada tingkatan ini, orang yang mencintai Allah sudah padaa taraf
ma’rifatullah ( mengenal Allah ) dengan
lebih mendalam, menggenal kebesaran-Nya Kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya, dll,.
Hatinya pun seakan-akan dipenuhi dengan rasa Allah serta sangat merindukannya.
3.
Cinta
kaum ‘arifin ( cinta kaum sufi )
Benar-benar ma’rifatullah. Cinta serupa ini timbul karena telah
mengenal Allah sehingga yang ia rasa bukan lagi cinta akan tetapi dirinya yang
dicintai.[6]
D.
Alat
Untuk mencapai Mahabbah.
Dari sekian
banyak arti mahabbah yang dikemukakan diatas, telah nampak ada persamaan arti
yang dikehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang
mendalam secara ruhiah pada tuhan. Lebih lanjut al Qusyairi mengumukakan
pengertian mahabbah dalam konteks tasawuf yaitu mahabbah adalah merupakan
keadaan (hal) jiwa yang mullia yang bentuknya disaksikannya ( kemutlakan )
Allah SWT, oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta
kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah SWT.
Menurut Harun
Nasution, didalam diri manusia ada tiga alat yang digunakan untuk berhubungan atau
bermahabbah dengan Tuhan, yaitu:
1.
Al
Qalb
Al Qalb atau hati sanubari berfungsi sebagai alat untuk mengetahui
sifat-sifat Tuhan.
2.
Roh
Roh berfungsi sebagai alat untuk mencintai Tuhan
3.
Sir
Sir berfungsi sebagai alat untuk melihat Tuhan.[7]
Diriwayatkan oleh abu Hurayroh bahwa
Rasululloh saw telah bersabda, “Barangsiapa yang senang bertemu dengan Allah,
maka allah akan senang bertemu dengannya. Dan barangsiapa yang tidak senang
bertemu dengan Allah, maka Allah pun tidak akan senang bertemu dengannya.”
Allah berfirman dalam QS. Al- Ma’idah:
54)
yang bunyinya :
54.
‘’Hai orang-orang yang beriman,
barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan
mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya,
yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras
terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut
kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya
kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi
Maha Mengetahui.’’
Ada banyak tanda yang
harus kita tunjukkan sebagai bukti bahwa kita cinta kepada Allah swt yakni
sebagai berikut:
1.
Banyak berdzikir
Secara harfiyah, dzikir
artinya mengingat, menyebut, menuturkan, menjaga, mengerti dan perbuatan baik.
orang yang berdzikir kepada Allah Swt berarti orang yang ingat kepada Allah Swt
yang membuatnya tidak akan menyimpang dari ketentuan-ketentuan-Nya. Ini berarti
dzikir itu bukan sekedar menyebut nama Allah, tapi juga menghadirkannya ke
dalam jiwa sehingga selalu bersama-Nya yang membuat kita menjadi terikat kepada
ketentuan-ketentuan-Nya, Rasulullah Saw bersabda:
Perumpamaan orang yang
berdzikir kepada Tuhannya dengan orang yang tidak berdzikir seperti orang hidup
dan orang mati (HR. Bukhari).
2.
Kagum
Orang yang cinta kepada
Allah swt akan kagum terhadap kebesaran dan kekuasaan-Nya, karenanya ia akan
selalu memuji-Nya dalam berbagai kersempatan sebagaimana yang tercermin pada
firman Allah swt: Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam (QS 1:2).
3.
Ridha
Orang yang cinta
berarti ridha dengan yang dicintainya, karena itu bila seseorang cinta kepada
Allah swt, maka iapun ridha kepada segala ketentuan-ketentuan-Nya sehingga bila
ia diatur dengan ketentuan Allah swt, maka ia tidak akan mencari aturan lain,
karena hal itu hanya membuat ia menjadi tidak pantas menjadi seorang mukmin
sebagaimana firman-Nya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia
telah sesat, sesat yang nyata (QS 33:36).
4.
berkorban
Tiada cinta tanpa
pengorbanan, begitu pula halnya dengan cinta kepada Allah swt yang harus
ditunjukkan dengan pengorbanan di jalan-Nya. Dalam hal apapun, manusia harus
berkorban dengan segala yang dimilikinya. Orang yang bercinta pasti dituntut berkorban
dengan apa yang dimilikinya. Orang yang memiliki hobi atau kegemaran harus
berkorban untuk bisa menyalurkan apa yang menjadi kegemarannya itu. Orang yang
berjuang di jalan yang bathilpun berkorban dengan harta bahkan jiwanya. Abu
Jahal, Abu Lahab dan tokoh-tokoh kafir lainnya berkorban dengan harta dan jiwa
mereka
5. Taqwa
Salah satu sikap yang
harus kita miliki sebagai tanda cinta kepada Allah swt adalah rasa takut
kepada-Nya.Takut kepada Allah bukanlah seperti kita takut kepada binatang buas
yang menyebabkan kita harus menjauhinya, tapi takut kepada Allah Swt adalah
takut kepada murka, siksa dan azab-Nya sehingga hal-hal yang bisa mendatangkan
murka, siksa dan azab Allah Swt harus kita jauhi.
6.
Raja’ (berharap)
Cinta kepada Allah swt
juga membuat seseorang selalu berharap kepada-Nya, yakni berharap mendapatkan
rahmat, cinta, ridha dan perjumpaan dengan-Nya yang membuat ia akan selalu
meneladani Rasulullah saw dalam kehidupannya di dunia ini, Allah swt berfirman:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah (QS 33:21).
7.
Rindu
Ia selalu rindu ingin
bertemu Allah, sebagaimana seorang pecinta merindukkan bertemu permata hatinya.
Ia takut kehilangan cinta Allah kepadanya, sebagaimana seorang pecinta takut
kehilangan kekasihnya.
Rindu kepada Allah
mempunyai tuju sasaran yakni rindu untuk berjumpa kepada Allah, Rindu untuk
selalu hadir dihadapan Allah, Rindu untuk selalu bersaama Allah, Rindu untuk
dapat berdua dengan allah, Rindu untuk berwacana langsung dengan Allah, Rindu
untuk diterima kembali ( dengan baik ) oleh Allah, dan Rindu untuk dicintai dan
diridhoi oleh Allah.
E. MENCINTAI RASULULLAH SAW
Anas r. A. Berkata, bahwa Rasulullah saw. Telah bersabda :
“Tidak digolongkan beriman seseorang sampai dia )mengakui aku sebagai
orang yang paling dia cintai daripada orang tuanya.”(HR. Bukhari,”Bab Al-
Imran” (14,15), “bab kewajiban Cinta kepada Rasulullah Saw. Dibandingkan kepada
keluarga, orang tua, dan manusia seluruhnya”)
1. Rahasia Cinta kepada Rasulullah Saw, diantaranya:
a. Allah SWT telah memilih Rasullullah SAW untuk melaksanakan risalah
nubuwah. Dengan demikian patutlah cinta
kita curahkan pada Rasulullah. Karena ditengah-tengah penyebaran dakwah
ilahinya, beliau membentur beerbagai kesulitan.
b. Cinta kepada Rasulullah SAW sederajat dengan cinta kita kepada Allah SWT,
Allah berfirman pada QS Ali Imran:31
c. Rasulullah kita cintai karena kesempurnaan akhlaknya
d. Sudah merupakan keharusan jika kita harus mencintai orang yang juga
mencintai kita. Hati akan selalu dekat dengan oorang yang hatinya dekat pada
kita. Seperti halnya nabi muhammad sangat menyayangi kita sebagai umatnya.[8]
e. Kecintaan kita kepada beliau ibarat pengaman jiwa karena beliau telah
membentuk hiduo kita melalui pribadi yang agung. Beliau adalah teladankita
didalam segala hal dalam kehidupankita.
f. Cinta kepada rasulullah ibarat seperti pohon yang membuahkan cinta kepada Allah
g. Beliau kita cintai karena telah memberikan petunjuk serta kiat yang
peling jitu dalam menghadapi ketiga hal:
sikap terhadap dunia, sikap terhadap di alam kubur dan sikap diakhirat kelak.
2. Buah cinta kepada Rasulullah SAW
Kecintaan kepada
rasulullah merupakan hal yang sangat monumental dan membuahkan hal yang dapat
memuliakan manusia. Manfaat yang dapat kita ambil dari kecintaan itu,
diantaranya:
a. Kecintaan Allah SWT
Cinta Allah SWT
kepada kita merupakan hal yang
spektakuler dari buah cinta kita kepada Rasulullah saw, Allah SWT
berfirman: ali Imran ayat 31
b. Kesempurnaan iman
Kecintaan kepada
Rasulullah merupakan salah satu bentuk kesempurnaan imani. Selaku mukmin, kita
pasti berusaaha keras mempertahankan kesempurnaan iman dalam diri dan perasaan
kita.
c. Meningkatkan akhlak dan Budi
Pekerti
d. Cinta kepada Nabi merupakan salah satu sebab seseorang memperoleh
manisnya iman. Nabi bersabda: “ada tiga perkara, barangsiapa yang dapat
melakukan hal itu niscaya ia akan dapat merasakan manisnya iman. Pertama,
hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selainkeduanya. Kedua,
hendaknya seseorang itu dapat mencintai orang lain hanya karena Allah, dan
ketiga hendaknya dia benci kembali kepada kekufuran, seebagaimana ia benci jika
hendak dilemparkan ke dalam neraka ( HR. Bukhori dan Muslim).[9]
e. Meningkatkan Mentalitas dan spiritualitas
Kedudukan dunia
dihati Rasul yaitu: “Apa arti dunia bagi diriku, hanyalah seperti penunggang
kuda yang bernaung dibawah sebuah pohon, setelah itu pergi lagi dan
meninggalkan pohon tersebut.” Karena dalam jiwa dan perasaan Beliau akhiratlah
yang menempati posisi utama atau tertinggi.
F. Cinta kepada kaum Muslimin.
Cinta yang tulus adalah cinta yang menciptakan senyuman dari hati, lalu
terucapkan oleh dua bibir lalu kausuguhkan senyuman dan wajah ceriamu kepada
saudaramu karenanya.
Sungguh harta benda tidak cukup untuk menarik cinta manusia serta
kecenderungan hati mreka. Namun senyuman mampu menciptakan apa yang tidak dapat
diciptakan oleh harta. Perasaan cinta mampu merayap sampai ke lubuk hati
terdalam. Ia juga mamu menguasai keseluruhan perasaan manusia.
Nabi Muhammad adalah sebaik-baik pembina umat yang mengajarkan bahwa
ikatan cinta merupakan ikatan yang paling kuat, yang mengikat kehidupan umat
manusia. Rasulullah SAW selalu menyerukan kepada umat manusia untuk mencintai.
Dengan ini mereka juga akan dicintai. Karena dengan saling mencintai itulalh
mereka dapat bertemu dengan wajah yang ceria dan senyum yang merekah penuh
ketulusan. Senyum yang lahir dari wajah yang ceria bisa memiliki kekuatan
laksana sihir.
Berikut ini beberapa
hadits yang menggambarkan bagaimana cinta, ikatan dan persaudaraan dalam islam
1. Dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda: “ tidak sempurna iman
seseorang diantara kalian, sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri (HR. Muslim)
Maksud dari hadits
diatas : bahwa cinta yang kita berikan
kepada sesama Muslim sebanding dan sekualitas dengan yang kita berikan kepada
diri kita sendiri. Namun dalam hal ini ( kebaikan dirinya sendiri ) menjadi
sebuah syarat yakni jika yang dicintai dari dirinya adalah persoalan syahwat
yang diharamkan atau mendekatinya, maka bukanlah kesempurnaan iman yang
diperoleh.
2. Dari Abdullah bin Amr r.a, Rasulullah bersabda:
“Sebaik-baik sahabat
menurut Allah adalah orang yang paling baik terhadap sahabatnya, dan
sebaik-baik tetangga adalah orang yang paling baik tetangganya ( HR. Tirmidzi)
3. Abu Daud meriwayatkan dari Abu Umamah r.a bahwa Rasulullah bersabda:”Barang
siapa mencintai karena Allah, marah karena Allah, membenci kareena Allah,
memberi karena Allah dan tidak memberi karena Allah, maka sempurnalah imannya.
Kerelaan memberi atau
tidak memberi merupakan buah dari perasaan cinta dan benci. Sebab, hati merupakan pusat dan
pengendali seluruh badan. Baik dan buruknya badan sangat bergantung kepada baik
dan buruknya hati. [10]
PENUTUP
Mahabbah (cinta)
identik ditujukan pada Allah SWT. Terdapat banyak makna atau definisi cinta
atau mahabbah disini. Dari ulama’ tasawuf, tokoh-tokoh sufi. Dari beberapa
definisi yang telah disampaikan bahwa mahabbah disini mempunyai arti relatif.
Namun pada dasarnya mempunyai inti yang sama yakni mahabbah merupakan suatu
keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati. keadaan Mahabbah menghendaki
keseimbangan antara sisi individual dan sosial, antara emosional dan rasional.
Dalam sebuah kehidupan
yang namanya sebuah rasa didalam hati yakni cinta pasti mempunyai, sebab, ciri,
tanda,wadah dan tumbuh. Begitu juga dengan mahabbah, cinta kita pada Allah,
Rasul-Nya bahkan sesama manusia juga demikian ada sebab, ciri, tanda,wadah dan
tumbuh.
Manakala seorang muslim
telah mencintai Allah SWT, maka ia akan memperoleh kecintaan dari-Nya, dan ini
akan membuatnya bisa menjalani kehidupan dengan baik.
Mahabbah atau cinta memiliki tingkatan, dari tingkatan orang-orang awwam sampai tingkatan puncak bagi orang-orang ‘arifin. Jika hati mempunyai rasa cinta pada sesuatu hal, maka ekspresi bibir tat kala juga akan menyabit dengan menawan ( senyum ceria menawan).
Mahabbah atau cinta memiliki tingkatan, dari tingkatan orang-orang awwam sampai tingkatan puncak bagi orang-orang ‘arifin. Jika hati mempunyai rasa cinta pada sesuatu hal, maka ekspresi bibir tat kala juga akan menyabit dengan menawan ( senyum ceria menawan).
DAFTAR PUSTAKA
Reynold
Alleyne Nicholson. 2008. Tasawuf cinta. Bandung: Mizan.
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Ihya Ulumiddin. (Beirut,
Dar al-Ma’rifah, tt).
Abdul Mustaqim. 2007. Akhlaq
Tasawuf. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
‘Abd al- Karim Ibn Hawazin al- qusyayri. 1990. Risalah sufi al- Qusyayri. Bandung: Penerbit
Pustaka.
Najib Khalid Al- ‘Amir. 1994. Tarbiyah
Rasulullah. Jakarta: Gema Insani Press.
Saiful Bahri.2005. Kemenangan
Cinta. Solo: Era Intermedia.
Abuddin Nata.2010. Akhlak
Tasawuf. Jakarta: Raja Wali Press
Ahmad Nashib al Mahamid.2004.
Memadu Cinta di taman Islam. Solo:
Intermedia
[1]
Saiful Bahri, Kemenangan Cinta, ( Solo: Era Intermedia, 2005), hlm. 9.
[2]Abuddin
Nata, Akhlak Tasawuf , ( Jakarta:
Raja Wali Press, 2010), hlm. 216.
[3]Reynold
Alleyne Nicholson, Tasawuf cinta, ( Bandung: Mizan,2008 ), hlm. 25.
[4]
Lihat,
penjelasan al-Ghazali pada Kitab al-Mahabbah wa asy-Syauq wa ar-Ridha, dalam
al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, op. cit., juz 4, hal. 296-300.
[5]Abdul
Mustaqim, Akhlaq Tasawuf, (
Yogyakarta: Kreasi Wacana,2007 ), hlm. 15.
[6]Ibid.,
hlm. 16-17.
[7]
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (
Jakarta: Raja Wali Press,2010), hlm.
213.
[8]
Najib Kholid Al ‘amir, Tarbiyah Rasulullah, (jakarta,:Gema Insani Press, 1994),
hlm. 53-57
[9]
Abdul Mustaqim, Akhlaq Tasawuf, (
Yogyakarta: Kreasi Wacana,2007 ), hlm.36.
[10]Ahmad
Nashib al Mahamid, Memadu Cinta di taman Islam, ( Solo: Intermedia, 2004),
hlm.243-254.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar